Sabtu, 09 Oktober 2010

KEKUASAAN BISNIS FREEPORT DI PAPUA

POLITIK dan bisnis, dua hal yang tidak bisa dipisahkan, ibarat dua
sisi dari koin yang sama. Meniadakan yang satu berarti meniadakan 
semua. Suka atau tidak, itulah bisnis dan politik. Kenyataan 
demikianlah yang dihadapi Freeport Sulphur tahun 1959. Ketika baru 
saja produksi perdana biji nikel perusahaan tambangnya dikapalkan, 
Fidel Castro berhasil merebut kota Havana dan merontokkan kekuasaan 
rezim diktator Batista untuk selamanya. Atas nama revolusi rakyat, 
seluruh perusahaan asing di Kuba dinasionalisasikan. Termasuk 
penambangan biji nikel milik Freeport Sulphur.
Di tengah badai demikian, negosiasi dengan rezim Castro sangat 
mustahil. Apalagi beredar isu bahwa eksekutif Freeport terlibat 
membiayai rencana pembunuhan Castro. 







Bulan Agustus masih pada tahun yang sama, Forbes Wilson, direktur dan 
pakar top pertambangan di Freeport, bertemu dengan Jan van Fruisen, 
Direktur Pelaksana East Borneo Company, yang juga bergerak di sektor 
pertambangan. Gruisen baru saja menemukan secara kebetulan suatu 
laporan yang sudah dipenuhi debu, mengenai Gunung Erstberg (Gunung 
Tembaga). Laporan tersebut ditulis Jean Jaques Dozy tahun 1936. 

Selama masa pendudukan Jerman, laporan itu bertahun-tahun terselip di 
deretan buku yang terbengkalai di perpustaan Belanda. Dalam laporan 
itu Dozy menggambarkan Erstberg sebagai sangat menakjubkan 
keindahannya. Sedang kandungan biji tembaga yang tersimpan di situ 
terhampar luas di permukaan tanah. Suatu hal yang sangat langka di 
jagat ini. 

Wilson yang tertarik pada laporan tersebut segera menghubungi kantor 
pusatnya di New York. Ia minta izin sekaligus juga uang untuk 
melakukan survei ke daerah yang penduduknya dikabarkan masih hidup 
seperti di zaman batu. Dalam benak Wilson, inilah saatnya Freeport 
melakukan diversifikasi. 

Tanggal 1 Februari 1960 Freeport Sulphur dan East Borneo Company 
membuat kontrak kerja sama eksplorasi biji tembaga tersebut. Dengan 
bantuan penduduk asli yang masih hidup dalam peradaban masa silam, 
selama beberapa bulan Wilson menjelajah kawasan Erstberg. 
Perjalanannya ini kelak dituangkan dalam bukunya The Conquest of 
Cooper Mountain. 

Ketika Wilson tiba di Gunung Tembaga itu, ia terperanjat menyaksikan 
kekayaan biji tembaga yang terhampar luas di atas permukaan tanah. 
Inilah keajaiban alam yang sulit ditemui di mana pun. Dalam 
laporannya Wilson mengatakan, suatu hal yang tidak lazim proses 
mineralisasi di kawasan yang begitu tinggi, atau lebih 2000 m di atas 
permukaan laut. Sekitar 40 sampai 50 persen biji besi, dan 3 persen 
tembaga, serta masih terdapat perak dan emas. Angka 3 persen itu saja 
sudah cukup menguntungkan bagi industri tambang.

Dari laporan ini dibuat kalkulasi, dengan perhitungan 13 juta ton 
biji tembaga di permukaan tanah dan 14 juta ton di bawah tanah dengan 
kedalaman 100 m. Jika untuk memproses 5.000 ton biji tembaga/hari 
dibutuhkan investasi 60 juta dollar AS, dengan rincian biaya produksi 
16 sen dollar/pon, sementara harga jual 35 sen/pon, maka dalam 3 
tahun saja investasi itu sudah lunas. Kelak mereka akan lebih kaget 
karena angka deposit biji tembaga itu ternyata jauh lebih besar.

Itulah sebagian yang ditulis Lisa Pease dalam artikelnya "JFK, 
Indonesia, CIA, and Freeport" di majalah Probe (1996). Meskipun sudah 
lama dipublikasikan, tidak banyak di Indonesia membacanya. Suatu 
uraian historis mengenai kaitan Freeport dengan keadaan politik di 
Indonesia dan AS waktu itu, menyadarkan kita betapa dahsyatnya 
kekuasaan raksasa bisnis transnasional itu.

Menurut Lisa, kegembiraan eksekutif Freeport ternyata hanya sesaat. 
Ketika proyek tambang itu akan dimulai, hubungan Indonesia-Belanda 
sangat genting dan mendekati perang terbuka. Presiden Soekarno mulai 
mendaratkan pasukannya di Irian Barat. 

Celakanya lagi, Presiden John F Kennedy malah lebih memihak Indonesia 
dengan mengutus Ellsworth Bunker sebagai negosiator. 

Untuk menekan Belanda, AS menghentikan bantuan Mashall Plan, dengan 
alasan khawatir digunakan membiayai perang. Belanda yang membutuhkan 
dana bagi pembangunan kembali negerinya dari reruntuhan Perang Dunia 
II, terpaksa mengalah untuk mundur dari Irian Barat. PBB akan 
membentuk pemerintahan transisional sebelum menyerahkannya kepada 
Indonesia, yang selanjutnya tahun 1969 akan diselenggarakan 
pemungutan pendapat rakyat untuk memilih apakah gabung RI atau tidak. 

Kontrak kerja sama Freeport dengan Belanda akhirnya mentah lagi. 
Menurut Lisa dalam artikelnya yang tersimpan di National Archieve, 
Washington DC, Freeport sempat pula melobi PBB mengenai status 
kontrak yang sudah disepakati. Namun pejabat PBB mengatakan hal itu 
sebaiknya dirundingkan dengan pihak RI. Beberapa kali dicoba 
mendekati pemerintah RI melalui kedubesnya di Washington, tetapi 
tidak ada jawaban.

Lebih menjengkelkan eksekutif Freeport lagi, Presiden Kennedy 
menyiapkan paket ekonomi membantu Indonesia, dengan melibatkan IMF 
dan Bank Dunia. Dalam pandangan Kennedy, Soekarno adalah seorang 
nasionalis tulen, bukan komunis. Ini jelas dari sikap Bung Karno yang 
memerintahkan angkatan perang menumpas pemberontakan komunis tahun 
1948 di Madiun. 

Dari persepektif demikian, bagi Kennedy, menghentikan bantuan ekonomi 
kepada Indonesia akan membuat negeri ini mencari alternatif ke Blok 
Timur. Di tengah memanasnya Perang Dingin, hal itu harus dicegah 
mengingat Indonesia menempati urutan kelima terbesar penduduknya di 
dunia, lokasinya di jalur pelayaran terpadat di dunia, dan kekayaan 
alamnya urutan keempat di dunia. 

Tapi tidak lama setelah Kennedy tewas tertembak, 22 November 1963, 
Freeport bangkit kembali, karena Johnson yang menggantikan sebagai 
pejabat sementara presiden, secara dramatis merombak kebijakan dan 
bantuan luar negeri AS. Termasuk kebijakan dan pengurangan bantuan 
ekonomi kepada RI, kecuali TNI. 

Salah satu anggota dewan direksi Freeport yang paling bahagia atas 
perubahan tersebut adalah Augustus C. "Gus" Long. Itu sebabnya ia 
tidak ragu ikut membentuk tim kampanye bagi pemilihan Johnson dalam 
pemilu presiden tahun 1964.

Akan halnya kematian Kennedy, hingga sekarang masih menyimpan misteri.

Tidak sedikit pula menuding Freeport Sulphur berada di belakang 
peristiwa ini, walaupun sudah berulang kali dibantahnya. Majalah 
Probe yang hingga saat ini masih terus berupaya membuka tabir misteri 
pembunuhan itu, tetap mengkaitkannya dengan konspirasi CIA, yang di 
dalamnya terkait eksekutif Freeport.

Lantas apa hubungannya dengan Indonesia?

Augustus C. Long inilah pemain utama. Ia pernah beberapa tahun 
menjadi ketua dewan direktur Texaco. Long sendiri mempunyai dua 
kepentingan di Indonesia. Selain menyangkut Freeport, ia juga 
menghadapi masalah berkaitan dengan kebijakan baru kontrak 
perminyakan Indonesia tahun 1961. Presiden Soekarno memutuskan, 60 
persen dari keuntungan harus diserahkan kepada pemerintah RI.

Caltex, satu dari tiga perusahaan minyak terbesar yang beroperasi di 
Indonesia waktu itu, sangat terpukul dengan kebijakan baru tersebut. 
Caltex adalah perusahaan migas patungan Standard Oil of California 
dengan Texaco (Texas Company), di mana Augustus Long pernah 
memimpinnya selama bertahun-tahun. Di luar Texaco, Long aktif dalam 
Presbyterian Hospital, New York, di mana ia terpilih dua kali menjadi 
presidennya, tahun 1961 dan 1962. Tempat ini sejak lama dikenal 
sebagai ajang pertemuan pentolan CIA.

Long pensiun sebagai bos Texaco tahun 1964, namun tahun 1970 kembali 
memegang kendali Texaco. Tapi inilah yang menggugah Lisa Pease untuk 
mencoba mencari jawaban atas pertanyaan, apa yang dilakukan Long 
selama periode "pensiun sementara" itu?

Maret 1965 Long terpilih sebagai direktur Chemical Bank, salah satu 
perusahaan di bawah kendali Rockefeller. Agustus 1965, Long diangkat 
sebagai anggota dewan penasihat intelijen presiden untuk masalah luar 
negeri. Suatu badan yang sangat berpengaruh dalam menyetujui atau 
menyarankan operasi rahasia di negara-negara tertentu. Operasi 
rahasia inilah yang menamatkan kekuasaan Presiden Soekarno dengan 
meletusnya G-30-S.

Situasi Indonesia sendiri memanas sejak awal 1965. Kesabaran Presiden 
Soekarno melihat AS yang masih membantu Malaysia, sudah sampai pada 
batasnya. Ancaman keluar dari PBB benar-benar diwujudkan. Semua 
bantuan AS ditolak. Bahkan giliran perusahaan milyak AS yang terancam 
dinasionalisasi. Sedang perusahaan ban mobil dan perkebunan AS, 
Goodyear, sudah lebih dahulu disita. 

Yang membuat perusahaan minyak tersebut bernasib mujur adalah 
keputusan Singapura keluar dari Federasi Malaysia. Keputusan ini agak 
mengurangi ketegangan. Paling tidak Bung Karno yang selama ini 
menolak Federasi Malaysia, karena dianggap bentukan Inggris dan batu 
loncatan Nekolim menguasai Asia Tenggara, tidak kehilangan muka. 
Dokumen lain menyebut, keluarnya Singapura berkat desakan AS terhadap 
Inggris. Buku mengenai President Johnson dan Kebijakan Politik Luar 
Negeri AS, yang belum lama ini ditarik Deplu AS dari perdedaran, 
banyak membuka file rahasia mengenai politik konfrontasi itu.

Ketika terjadi peristiwa G-30-S, walaupun berita-berita di Washington 
tampaknya masih simpang-siur pada 1 Oktober 1965, tapi ini hanyalah 
sekadar sandiwara. Mengutip artikel Peter Dale Scot yang diterbitkan 
di majalah Lobster (1990) di Inggris, Lisa Pease menyebut, tahun 1964 
seorang peneliti yang diberi akses membuka file di Deplu Pakistan, 
menemukan surat salah seorang dubes Pakistan di Eropa.

Dalam suratnya Desember 1964 itu, sang dubes menyampaikan informasi 
dari seorang pejabat intel Belanda yang ditempatkan di NATO. Di situ 
dikemukakan, dalam waktu tidak lama lagi Indonesia akan beralih ke 
Barat. Suatu peristiwa mirip kudeta yang dilakukan komunis akan 
terjadi di sana, sehingga angkatan darat mempunyai alasan kuat untuk 
menamatkan partai komunis dan membuat Soekarno menjadi seorang 
tahanan.

Tapi yang lebih menarik adalah kabel yang dikirim Deplu AS ke PBB 
pada April 1965. Di situ dijelaskan bahwa Freeport Surphur telah 
mencapai kesepakatan dengan Pemerintah RI mengenai penambangan puncak 
Erstberg. Padahal waktu itu mustahil pemerintah RI melakukan hal ini. 
Bahkan perusahaan AS yang ada saja akan dinasionalisasi. 

Persoalannya, AS sudah tahu apa yang akan terjadi. Komunikasi 
telegram kedubes AS di Jakarta dengan Deplu akhir Januari 1965, 
sangat jelas mengindikasikan hal ini. Salah satu telegram itu 
menyebut adanya pertemuan pejabat teras angkatan darat, yang 
membicarakan rencana darurat jika Presiden Soekarno mendadak 
meninggal dunia. Kelompok yang dipimpin Jenderal Soeharto malah 
melangkah lebih jauh, mendesak agar sesegera mungkin angkatan darat 
mengambil alih kekuasaan, tanpa menunggu Presiden Soekarno 
berhalangan. (Telegram rahasia Cinpac 342, 21 Januari 1965, Pkl. 
21.48) 

Awal November 1965, ketua dewan direktur Freeport, Langbourne 
Williams, menelepon Direktur Forbes Wilson di rumahnya, menanyakan 
apakah Freeport sudah siap untuk melaksanakan proyek di Irian Barat. 
Wilson nyaris tidak percaya mendengar berita ini. Apalagi waktu itu 
Soekarno masih presiden RI, bahkan hingga 1967. Lantas dari mana 
informasi ini diperoleh?

Texaco, perusahaan yang lama dipegang Augustus C. Long, mempunyai dua 
sumber informasi penting. Yakni Julius Tahija dan Ibnu Soetowo. 
Julius Tahija pula yang menjadi perantara menegosiasikan Freeport 
dengan Ibnu Soetowo yang menjabat Menteri Pertambangan dan 
Perminyakan. Posisi Ibnu Soetowo di angkatan darat sangat penting, 
karena dialah yang menutup kebutuhan dana operasi angkatan darat.

Lantas ketika UU PMA disahkan tahun 1967, perusahaan asing yang 
pertama kali kontraknya ditandangani Soeharto adalah Freeport. 
Perusahaan ini dengan canggihnya bermain di segala lini. Di bawah 
komando Augustus C Long, yang dekat dengan pusat kekuasaan di Gedung 
Putih, tidak hanya Freeport yang mujur, tapi juga Texaco dan 
perusahaan minyak lainnya. Sebab tidak lama setelah Bung Karno 
dilengserkan, Ibnu Sutowo membuat perjanjian kontrak baru 
perminyakan, yang porsi keuntungan lebih besar pada perusahaan asing. 

Salah satu sahabat lama Augustus C Long adalah Steve Bechtel Sr. 
Mereka kadang-kadang tampak makan malam bersama. Bechtel Sr 
mendirikan perusahaan patungan dengan Direktur CIA John McCone, yang 
diberi nama Bechtel-McCone di Los Angeles. Tahun 1964 dan 1965 
Direktur CIA McCone dan Dubes AS di Jakarta Howard Jones, membriefing 
Steve Bechte Sr, mengenai cepatnya perubahan situasi yang makin 
memburuk di Indonesia.

Bagi CIA sendiri Bechtel Sr bukanlah orang asing. Ia adalah anggota 
penyantun Asia Foundation yang dibentuk CIA sejak masa Allen Dulles. 
Banyak orang CIA yang bekerja di Bechtel. Bahkan mantan Direktur CIA, 
Richard Helms, bergabung dengan Bechtel sebagai konsultan 
internasional tahun 1978. Menurut Lisa Pease, walaupun sempat cekcok, 
Freeport akhirnya mengajak Bechtel membantu membangun konstruksi 
infrastruktur yang tepat untuk mewujudkan impian mereka menjadi 
kenyataan.

Untuk mengembirakan Soeharto dan bangsa Indonesia, melalui salah satu 
anggota dewan direkturnya, Menlu Henry Kissinger, President Gerald 
Ford berkunjung ke Jakarta. Beberapa jam ketika pesawat terbang 
kepresidenan ini meninggalkan landasan pacu Halim Perdanakusuma, 
ribuan tentara Indonesia melakukan invasi ke Timtim. "Tanpa bantuan 
senjata dan logistik dari AS, sulit membayangkan Indonesia akan 
berhasil," ujar C Philip Lieghty, mantan anggota CIA yang ditempatkan 
dalam operasi itu. Ia mengakui sempat membahas dampak invasi itu atas 
AS, termasuk menjaga kemungkinan serangan Kongres. 


***
Tahun 1980 Freeport bergabung dengan McMoRan, perusahaan eksplorasi 
dan pengembangan minyak, yang dinakhodai "Jim Bob" Moffett. Tidak 
lama kemudian markasnya pindah ke New Orleans. Freeport McMoRan 
sangat cepat menapak menjadi raksasa dunia, dengan keuntungan 
diperkirakan lebih 1,5 milyar dollar AS/tahun.

Dalam bukunya setebal 384 halaman, yang diterbitkan tahun 1996 dengan 
judul Grasberg, George A. Mealey menyebut saat ini Freeport McMoRan 
merupakan tambang tembaga yang mempunyai deposit ketiga terbesar di 
dunia. Sedang untuk emas menempati urutan pertama. 

Merujuk data tahun 1995, eksekutif Freeport ini menyebut, di areal 
ini tersimpan cadangan tembaga sebesar 40,3 milyar pon dan emas 52,1 
juta ons. Deposit ini mempunyai nilai jual 77 milyar dollar AS. 
Hingga 45 tahun ke depan penambangan di Grasberg masih menguntungkan. 
Kemasan promosinya yang paling menakjubkan adalah, biaya produksi 
tambang emas dan tembaga di sini yang termurah di dunia. 

Tapi lihatlah apa yang terjadi atas penduduk asli dari suku Amungme 
maupun suku-suku lainnya. Jika disimak dari kategori Alvin Toffler, 
The Third Wave, sebagian besar dari mereka hidup masih seperti di 
zaman batu. Dengan kaki telanjang dan penutup tubuh hanya sebatas 
kemaluan, mereka mengembara di hutan-hutan, mengejar binatang buruan 
bersenjatakan panah dan tombak. Nyaris tidak masuk akal bahwa ada 
mahluk manusia bertahan dengan cara demikian di tengah udara dingin 
di atas ketinggian lebih 2.000 m dari permukaan laut.

Sama tidak masuk akalnya keadaan pemerintah Indonesia yang mengemis 
mencari pinjaman ke sana-sini, sementara cadangan emas dan tembaga 
yang dapat membayar seluruh utang pemerintah, diserahkan kepada pihak 
asing. Alhasil, selain kerepotan membayar bunga dan cicilan utang, 
reputasi pemerintah RI melorot di mata internasional.

Tidak ada gerak dan denyut kehidupan baru di pegunungan tengah Irian 
Jaya, kecuali di sekitar Tembagapura, tempat bercokolnya kawasan 
industri tambang itu. Tapi dari tanah adat penduduk setengah primitif 
inilah diangkut kekayaan alam yang tidak terhingga nilainya. Kekayaan 
alam itu pula yang ikut meramaikan pasar uang, komoditi, dan saham di 
New York.

Penduduk suku Amungme dan suku-suku lainnya di pedalaman Irian Jaya 
tidak dapat membayangkan apa dan bagaimana kesibukan jam kerja dan 
cahaya lampu yang berkilau pada malam hari di kawasan Manhattan, New 
York. Sebab di sini pun mereka tidak mempunyai ruang sekadar 
mengabstraksikan dan bertanya sumber kemewahan di kompleks Freeport. 

Di sini bertanya bukan suatu kebiasaan yang baik. Mirip goa atau 
pohon-pohon besar yang diyakini banyak penduduk pedalaman Irja ada 
penunggunya dan bisa membawa bencana, demikian pula halnya bertanya. 
Sebab aparat keamanan yang berwajah garang yang didatangkan dari 
Jakarta, sudah siap dengan jawaban "Kamu OPM, ya." Stigma ini identik 
dengan pintu neraka. 

Itulah yang dialami mereka ketika Kelly Kwalik dan pasukannya yang 
berkoteka menyandera sejumlah peneliti asing. Ribuan pasukan elite 
dari berbagai kesatuan yang diterbangkan dari Jakarta maupun kota-
kota lainnya, mengepung rapat setiap pelosok yang mungkin di huni 
manusia. Suara helikopter tidak henti-hentinya meraung-raung di udara 
membuat penduduk lari ketakutan.

Tidak cukup hanya itu, didatangkan pula satuan antiteroris Inggris, 
Jerman, bahkan tentara bayaran Afrika Selatan dari perusahaan 
Executive Outcomes. Selain itu melalui lobi pejabat Singapura ke 
Dubes Israel yang bertugas di sana, Tel Aviv meminjam pesawat mata-
mata tanpa awak. Pesawat canggih dengan peralatan elektroniknya ini 
dapat mendeteksi gerakan manusia di permukaan tanah dan mengirimkan 
fotonya melalui satelit.

Banyak penduduk tidak bersalah tewas dibantai. Apalagi ketika sebuah 
pesawat helikopter menggunakan logo palang merah, yang penumpangnya 
termasuk tentara bayaran Afsel, memberondong penduduk desa. 
Pengejaran besar-besaran itu dan dengan biaya yang amat mahal pula, 
baru usai setelah berlangsung tanpa henti selama sekitar 3 bulan. 
Pers nasional dan internasional yang sudah melewati titik jenuh 
penantiannya, akhirnya dapat sekadar membuat foto sandera yang 
berhasil dibebaskan. 

Sambutan pers atas keberhasilan itu sangat meriah, seperti layaknya 
menyongsong pahlawan pulang perang. Padahal seharusnya kita malu 
karena hanya menghadapi seorang mantan guru SD yang sederhana, yang 
memipin puluhan orang pengikutnya bersenjatakan tombak, panah, dan 
beberapa pucuk senjata tua. 

Sambutan meriah demikian pula yang muncul dari eksekutif Freeport dan 
para pejabat CIA, tatkala kontrak penambangan disetujui pemerintah 
RI. Mereka tidak malu hidup di atas kemewahan hak rakyat miskin, dan 
meninggalkan limbah busuk sebagai imbalannya. Kecaman dari berbagai 
pihak, termasuk LSM internasional, sedikit pun tidak digubris. Harta 
memang dapat membuat orang menjadi buta dan tuli. (mt) 






"Where is the wisdom we have lost in knowledge?
Where is the knowledge we have lost in information?"
--T.S. Elliot (1888-1965) 

 

0 komentar:

Posting Komentar