POLITIK dan bisnis, dua hal yang tidak bisa dipisahkan, ibarat dua
sisi dari koin yang sama. Meniadakan yang satu berarti meniadakan
semua. Suka atau tidak, itulah bisnis dan politik. Kenyataan
demikianlah yang dihadapi Freeport Sulphur tahun 1959. Ketika baru
saja produksi perdana biji nikel perusahaan tambangnya dikapalkan,
Fidel Castro berhasil merebut kota Havana dan merontokkan kekuasaan
rezim diktator Batista untuk selamanya. Atas nama revolusi rakyat,
seluruh perusahaan asing di Kuba dinasionalisasikan. Termasuk
penambangan biji nikel milik Freeport Sulphur.
Di tengah badai demikian, negosiasi dengan rezim Castro sangat
mustahil. Apalagi beredar isu bahwa eksekutif Freeport terlibat
membiayai rencana pembunuhan Castro.
Bulan Agustus masih pada tahun yang sama, Forbes Wilson, direktur dan
pakar top pertambangan di Freeport, bertemu dengan Jan van Fruisen,
Direktur Pelaksana East Borneo Company, yang juga bergerak di sektor
pertambangan. Gruisen baru saja menemukan secara kebetulan suatu
laporan yang sudah dipenuhi debu, mengenai Gunung Erstberg (Gunung
Tembaga). Laporan tersebut ditulis Jean Jaques Dozy tahun 1936.
Selama masa pendudukan Jerman, laporan itu bertahun-tahun terselip di
deretan buku yang terbengkalai di perpustaan Belanda. Dalam laporan
itu Dozy menggambarkan Erstberg sebagai sangat menakjubkan
keindahannya. Sedang kandungan biji tembaga yang tersimpan di situ
terhampar luas di permukaan tanah. Suatu hal yang sangat langka di
jagat ini.
Wilson yang tertarik pada laporan tersebut segera menghubungi kantor
pusatnya di New York. Ia minta izin sekaligus juga uang untuk
melakukan survei ke daerah yang penduduknya dikabarkan masih hidup
seperti di zaman batu. Dalam benak Wilson, inilah saatnya Freeport
melakukan diversifikasi.
Tanggal 1 Februari 1960 Freeport Sulphur dan East Borneo Company
membuat kontrak kerja sama eksplorasi biji tembaga tersebut. Dengan
bantuan penduduk asli yang masih hidup dalam peradaban masa silam,
selama beberapa bulan Wilson menjelajah kawasan Erstberg.
Perjalanannya ini kelak dituangkan dalam bukunya The Conquest of
Cooper Mountain.
Ketika Wilson tiba di Gunung Tembaga itu, ia terperanjat menyaksikan
kekayaan biji tembaga yang terhampar luas di atas permukaan tanah.
Inilah keajaiban alam yang sulit ditemui di mana pun. Dalam
laporannya Wilson mengatakan, suatu hal yang tidak lazim proses
mineralisasi di kawasan yang begitu tinggi, atau lebih 2000 m di atas
permukaan laut. Sekitar 40 sampai 50 persen biji besi, dan 3 persen
tembaga, serta masih terdapat perak dan emas. Angka 3 persen itu saja
sudah cukup menguntungkan bagi industri tambang.
Dari laporan ini dibuat kalkulasi, dengan perhitungan 13 juta ton
biji tembaga di permukaan tanah dan 14 juta ton di bawah tanah dengan
kedalaman 100 m. Jika untuk memproses 5.000 ton biji tembaga/hari
dibutuhkan investasi 60 juta dollar AS, dengan rincian biaya produksi
16 sen dollar/pon, sementara harga jual 35 sen/pon, maka dalam 3
tahun saja investasi itu sudah lunas. Kelak mereka akan lebih kaget
karena angka deposit biji tembaga itu ternyata jauh lebih besar.
Itulah sebagian yang ditulis Lisa Pease dalam artikelnya "JFK,
Indonesia, CIA, and Freeport" di majalah Probe (1996). Meskipun sudah
lama dipublikasikan, tidak banyak di Indonesia membacanya. Suatu
uraian historis mengenai kaitan Freeport dengan keadaan politik di
Indonesia dan AS waktu itu, menyadarkan kita betapa dahsyatnya
kekuasaan raksasa bisnis transnasional itu.
Menurut Lisa, kegembiraan eksekutif Freeport ternyata hanya sesaat.
Ketika proyek tambang itu akan dimulai, hubungan Indonesia-Belanda
sangat genting dan mendekati perang terbuka. Presiden Soekarno mulai
mendaratkan pasukannya di Irian Barat.
Celakanya lagi, Presiden John F Kennedy malah lebih memihak Indonesia
dengan mengutus Ellsworth Bunker sebagai negosiator.
Untuk menekan Belanda, AS menghentikan bantuan Mashall Plan, dengan
alasan khawatir digunakan membiayai perang. Belanda yang membutuhkan
dana bagi pembangunan kembali negerinya dari reruntuhan Perang Dunia
II, terpaksa mengalah untuk mundur dari Irian Barat. PBB akan
membentuk pemerintahan transisional sebelum menyerahkannya kepada
Indonesia, yang selanjutnya tahun 1969 akan diselenggarakan
pemungutan pendapat rakyat untuk memilih apakah gabung RI atau tidak.
Kontrak kerja sama Freeport dengan Belanda akhirnya mentah lagi.
Menurut Lisa dalam artikelnya yang tersimpan di National Archieve,
Washington DC, Freeport sempat pula melobi PBB mengenai status
kontrak yang sudah disepakati. Namun pejabat PBB mengatakan hal itu
sebaiknya dirundingkan dengan pihak RI. Beberapa kali dicoba
mendekati pemerintah RI melalui kedubesnya di Washington, tetapi
tidak ada jawaban.
Lebih menjengkelkan eksekutif Freeport lagi, Presiden Kennedy
menyiapkan paket ekonomi membantu Indonesia, dengan melibatkan IMF
dan Bank Dunia. Dalam pandangan Kennedy, Soekarno adalah seorang
nasionalis tulen, bukan komunis. Ini jelas dari sikap Bung Karno yang
memerintahkan angkatan perang menumpas pemberontakan komunis tahun
1948 di Madiun.
Dari persepektif demikian, bagi Kennedy, menghentikan bantuan ekonomi
kepada Indonesia akan membuat negeri ini mencari alternatif ke Blok
Timur. Di tengah memanasnya Perang Dingin, hal itu harus dicegah
mengingat Indonesia menempati urutan kelima terbesar penduduknya di
dunia, lokasinya di jalur pelayaran terpadat di dunia, dan kekayaan
alamnya urutan keempat di dunia.
Tapi tidak lama setelah Kennedy tewas tertembak, 22 November 1963,
Freeport bangkit kembali, karena Johnson yang menggantikan sebagai
pejabat sementara presiden, secara dramatis merombak kebijakan dan
bantuan luar negeri AS. Termasuk kebijakan dan pengurangan bantuan
ekonomi kepada RI, kecuali TNI.
Salah satu anggota dewan direksi Freeport yang paling bahagia atas
perubahan tersebut adalah Augustus C. "Gus" Long. Itu sebabnya ia
tidak ragu ikut membentuk tim kampanye bagi pemilihan Johnson dalam
pemilu presiden tahun 1964.
Akan halnya kematian Kennedy, hingga sekarang masih menyimpan misteri.
Tidak sedikit pula menuding Freeport Sulphur berada di belakang
peristiwa ini, walaupun sudah berulang kali dibantahnya. Majalah
Probe yang hingga saat ini masih terus berupaya membuka tabir misteri
pembunuhan itu, tetap mengkaitkannya dengan konspirasi CIA, yang di
dalamnya terkait eksekutif Freeport.
Lantas apa hubungannya dengan Indonesia?
Augustus C. Long inilah pemain utama. Ia pernah beberapa tahun
menjadi ketua dewan direktur Texaco. Long sendiri mempunyai dua
kepentingan di Indonesia. Selain menyangkut Freeport, ia juga
menghadapi masalah berkaitan dengan kebijakan baru kontrak
perminyakan Indonesia tahun 1961. Presiden Soekarno memutuskan, 60
persen dari keuntungan harus diserahkan kepada pemerintah RI.
Caltex, satu dari tiga perusahaan minyak terbesar yang beroperasi di
Indonesia waktu itu, sangat terpukul dengan kebijakan baru tersebut.
Caltex adalah perusahaan migas patungan Standard Oil of California
dengan Texaco (Texas Company), di mana Augustus Long pernah
memimpinnya selama bertahun-tahun. Di luar Texaco, Long aktif dalam
Presbyterian Hospital, New York, di mana ia terpilih dua kali menjadi
presidennya, tahun 1961 dan 1962. Tempat ini sejak lama dikenal
sebagai ajang pertemuan pentolan CIA.
Long pensiun sebagai bos Texaco tahun 1964, namun tahun 1970 kembali
memegang kendali Texaco. Tapi inilah yang menggugah Lisa Pease untuk
mencoba mencari jawaban atas pertanyaan, apa yang dilakukan Long
selama periode "pensiun sementara" itu?
Maret 1965 Long terpilih sebagai direktur Chemical Bank, salah satu
perusahaan di bawah kendali Rockefeller. Agustus 1965, Long diangkat
sebagai anggota dewan penasihat intelijen presiden untuk masalah luar
negeri. Suatu badan yang sangat berpengaruh dalam menyetujui atau
menyarankan operasi rahasia di negara-negara tertentu. Operasi
rahasia inilah yang menamatkan kekuasaan Presiden Soekarno dengan
meletusnya G-30-S.
Situasi Indonesia sendiri memanas sejak awal 1965. Kesabaran Presiden
Soekarno melihat AS yang masih membantu Malaysia, sudah sampai pada
batasnya. Ancaman keluar dari PBB benar-benar diwujudkan. Semua
bantuan AS ditolak. Bahkan giliran perusahaan milyak AS yang terancam
dinasionalisasi. Sedang perusahaan ban mobil dan perkebunan AS,
Goodyear, sudah lebih dahulu disita.
Yang membuat perusahaan minyak tersebut bernasib mujur adalah
keputusan Singapura keluar dari Federasi Malaysia. Keputusan ini agak
mengurangi ketegangan. Paling tidak Bung Karno yang selama ini
menolak Federasi Malaysia, karena dianggap bentukan Inggris dan batu
loncatan Nekolim menguasai Asia Tenggara, tidak kehilangan muka.
Dokumen lain menyebut, keluarnya Singapura berkat desakan AS terhadap
Inggris. Buku mengenai President Johnson dan Kebijakan Politik Luar
Negeri AS, yang belum lama ini ditarik Deplu AS dari perdedaran,
banyak membuka file rahasia mengenai politik konfrontasi itu.
Ketika terjadi peristiwa G-30-S, walaupun berita-berita di Washington
tampaknya masih simpang-siur pada 1 Oktober 1965, tapi ini hanyalah
sekadar sandiwara. Mengutip artikel Peter Dale Scot yang diterbitkan
di majalah Lobster (1990) di Inggris, Lisa Pease menyebut, tahun 1964
seorang peneliti yang diberi akses membuka file di Deplu Pakistan,
menemukan surat salah seorang dubes Pakistan di Eropa.
Dalam suratnya Desember 1964 itu, sang dubes menyampaikan informasi
dari seorang pejabat intel Belanda yang ditempatkan di NATO. Di situ
dikemukakan, dalam waktu tidak lama lagi Indonesia akan beralih ke
Barat. Suatu peristiwa mirip kudeta yang dilakukan komunis akan
terjadi di sana, sehingga angkatan darat mempunyai alasan kuat untuk
menamatkan partai komunis dan membuat Soekarno menjadi seorang
tahanan.
Tapi yang lebih menarik adalah kabel yang dikirim Deplu AS ke PBB
pada April 1965. Di situ dijelaskan bahwa Freeport Surphur telah
mencapai kesepakatan dengan Pemerintah RI mengenai penambangan puncak
Erstberg. Padahal waktu itu mustahil pemerintah RI melakukan hal ini.
Bahkan perusahaan AS yang ada saja akan dinasionalisasi.
Persoalannya, AS sudah tahu apa yang akan terjadi. Komunikasi
telegram kedubes AS di Jakarta dengan Deplu akhir Januari 1965,
sangat jelas mengindikasikan hal ini. Salah satu telegram itu
menyebut adanya pertemuan pejabat teras angkatan darat, yang
membicarakan rencana darurat jika Presiden Soekarno mendadak
meninggal dunia. Kelompok yang dipimpin Jenderal Soeharto malah
melangkah lebih jauh, mendesak agar sesegera mungkin angkatan darat
mengambil alih kekuasaan, tanpa menunggu Presiden Soekarno
berhalangan. (Telegram rahasia Cinpac 342, 21 Januari 1965, Pkl.
21.48)
Awal November 1965, ketua dewan direktur Freeport, Langbourne
Williams, menelepon Direktur Forbes Wilson di rumahnya, menanyakan
apakah Freeport sudah siap untuk melaksanakan proyek di Irian Barat.
Wilson nyaris tidak percaya mendengar berita ini. Apalagi waktu itu
Soekarno masih presiden RI, bahkan hingga 1967. Lantas dari mana
informasi ini diperoleh?
Texaco, perusahaan yang lama dipegang Augustus C. Long, mempunyai dua
sumber informasi penting. Yakni Julius Tahija dan Ibnu Soetowo.
Julius Tahija pula yang menjadi perantara menegosiasikan Freeport
dengan Ibnu Soetowo yang menjabat Menteri Pertambangan dan
Perminyakan. Posisi Ibnu Soetowo di angkatan darat sangat penting,
karena dialah yang menutup kebutuhan dana operasi angkatan darat.
Lantas ketika UU PMA disahkan tahun 1967, perusahaan asing yang
pertama kali kontraknya ditandangani Soeharto adalah Freeport.
Perusahaan ini dengan canggihnya bermain di segala lini. Di bawah
komando Augustus C Long, yang dekat dengan pusat kekuasaan di Gedung
Putih, tidak hanya Freeport yang mujur, tapi juga Texaco dan
perusahaan minyak lainnya. Sebab tidak lama setelah Bung Karno
dilengserkan, Ibnu Sutowo membuat perjanjian kontrak baru
perminyakan, yang porsi keuntungan lebih besar pada perusahaan asing.
Salah satu sahabat lama Augustus C Long adalah Steve Bechtel Sr.
Mereka kadang-kadang tampak makan malam bersama. Bechtel Sr
mendirikan perusahaan patungan dengan Direktur CIA John McCone, yang
diberi nama Bechtel-McCone di Los Angeles. Tahun 1964 dan 1965
Direktur CIA McCone dan Dubes AS di Jakarta Howard Jones, membriefing
Steve Bechte Sr, mengenai cepatnya perubahan situasi yang makin
memburuk di Indonesia.
Bagi CIA sendiri Bechtel Sr bukanlah orang asing. Ia adalah anggota
penyantun Asia Foundation yang dibentuk CIA sejak masa Allen Dulles.
Banyak orang CIA yang bekerja di Bechtel. Bahkan mantan Direktur CIA,
Richard Helms, bergabung dengan Bechtel sebagai konsultan
internasional tahun 1978. Menurut Lisa Pease, walaupun sempat cekcok,
Freeport akhirnya mengajak Bechtel membantu membangun konstruksi
infrastruktur yang tepat untuk mewujudkan impian mereka menjadi
kenyataan.
Untuk mengembirakan Soeharto dan bangsa Indonesia, melalui salah satu
anggota dewan direkturnya, Menlu Henry Kissinger, President Gerald
Ford berkunjung ke Jakarta. Beberapa jam ketika pesawat terbang
kepresidenan ini meninggalkan landasan pacu Halim Perdanakusuma,
ribuan tentara Indonesia melakukan invasi ke Timtim. "Tanpa bantuan
senjata dan logistik dari AS, sulit membayangkan Indonesia akan
berhasil," ujar C Philip Lieghty, mantan anggota CIA yang ditempatkan
dalam operasi itu. Ia mengakui sempat membahas dampak invasi itu atas
AS, termasuk menjaga kemungkinan serangan Kongres.
***
Tahun 1980 Freeport bergabung dengan McMoRan, perusahaan eksplorasi
dan pengembangan minyak, yang dinakhodai "Jim Bob" Moffett. Tidak
lama kemudian markasnya pindah ke New Orleans. Freeport McMoRan
sangat cepat menapak menjadi raksasa dunia, dengan keuntungan
diperkirakan lebih 1,5 milyar dollar AS/tahun.
Dalam bukunya setebal 384 halaman, yang diterbitkan tahun 1996 dengan
judul Grasberg, George A. Mealey menyebut saat ini Freeport McMoRan
merupakan tambang tembaga yang mempunyai deposit ketiga terbesar di
dunia. Sedang untuk emas menempati urutan pertama.
Merujuk data tahun 1995, eksekutif Freeport ini menyebut, di areal
ini tersimpan cadangan tembaga sebesar 40,3 milyar pon dan emas 52,1
juta ons. Deposit ini mempunyai nilai jual 77 milyar dollar AS.
Hingga 45 tahun ke depan penambangan di Grasberg masih menguntungkan.
Kemasan promosinya yang paling menakjubkan adalah, biaya produksi
tambang emas dan tembaga di sini yang termurah di dunia.
Tapi lihatlah apa yang terjadi atas penduduk asli dari suku Amungme
maupun suku-suku lainnya. Jika disimak dari kategori Alvin Toffler,
The Third Wave, sebagian besar dari mereka hidup masih seperti di
zaman batu. Dengan kaki telanjang dan penutup tubuh hanya sebatas
kemaluan, mereka mengembara di hutan-hutan, mengejar binatang buruan
bersenjatakan panah dan tombak. Nyaris tidak masuk akal bahwa ada
mahluk manusia bertahan dengan cara demikian di tengah udara dingin
di atas ketinggian lebih 2.000 m dari permukaan laut.
Sama tidak masuk akalnya keadaan pemerintah Indonesia yang mengemis
mencari pinjaman ke sana-sini, sementara cadangan emas dan tembaga
yang dapat membayar seluruh utang pemerintah, diserahkan kepada pihak
asing. Alhasil, selain kerepotan membayar bunga dan cicilan utang,
reputasi pemerintah RI melorot di mata internasional.
Tidak ada gerak dan denyut kehidupan baru di pegunungan tengah Irian
Jaya, kecuali di sekitar Tembagapura, tempat bercokolnya kawasan
industri tambang itu. Tapi dari tanah adat penduduk setengah primitif
inilah diangkut kekayaan alam yang tidak terhingga nilainya. Kekayaan
alam itu pula yang ikut meramaikan pasar uang, komoditi, dan saham di
New York.
Penduduk suku Amungme dan suku-suku lainnya di pedalaman Irian Jaya
tidak dapat membayangkan apa dan bagaimana kesibukan jam kerja dan
cahaya lampu yang berkilau pada malam hari di kawasan Manhattan, New
York. Sebab di sini pun mereka tidak mempunyai ruang sekadar
mengabstraksikan dan bertanya sumber kemewahan di kompleks Freeport.
Di sini bertanya bukan suatu kebiasaan yang baik. Mirip goa atau
pohon-pohon besar yang diyakini banyak penduduk pedalaman Irja ada
penunggunya dan bisa membawa bencana, demikian pula halnya bertanya.
Sebab aparat keamanan yang berwajah garang yang didatangkan dari
Jakarta, sudah siap dengan jawaban "Kamu OPM, ya." Stigma ini identik
dengan pintu neraka.
Itulah yang dialami mereka ketika Kelly Kwalik dan pasukannya yang
berkoteka menyandera sejumlah peneliti asing. Ribuan pasukan elite
dari berbagai kesatuan yang diterbangkan dari Jakarta maupun kota-
kota lainnya, mengepung rapat setiap pelosok yang mungkin di huni
manusia. Suara helikopter tidak henti-hentinya meraung-raung di udara
membuat penduduk lari ketakutan.
Tidak cukup hanya itu, didatangkan pula satuan antiteroris Inggris,
Jerman, bahkan tentara bayaran Afrika Selatan dari perusahaan
Executive Outcomes. Selain itu melalui lobi pejabat Singapura ke
Dubes Israel yang bertugas di sana, Tel Aviv meminjam pesawat mata-
mata tanpa awak. Pesawat canggih dengan peralatan elektroniknya ini
dapat mendeteksi gerakan manusia di permukaan tanah dan mengirimkan
fotonya melalui satelit.
Banyak penduduk tidak bersalah tewas dibantai. Apalagi ketika sebuah
pesawat helikopter menggunakan logo palang merah, yang penumpangnya
termasuk tentara bayaran Afsel, memberondong penduduk desa.
Pengejaran besar-besaran itu dan dengan biaya yang amat mahal pula,
baru usai setelah berlangsung tanpa henti selama sekitar 3 bulan.
Pers nasional dan internasional yang sudah melewati titik jenuh
penantiannya, akhirnya dapat sekadar membuat foto sandera yang
berhasil dibebaskan.
Sambutan pers atas keberhasilan itu sangat meriah, seperti layaknya
menyongsong pahlawan pulang perang. Padahal seharusnya kita malu
karena hanya menghadapi seorang mantan guru SD yang sederhana, yang
memipin puluhan orang pengikutnya bersenjatakan tombak, panah, dan
beberapa pucuk senjata tua.
Sambutan meriah demikian pula yang muncul dari eksekutif Freeport dan
para pejabat CIA, tatkala kontrak penambangan disetujui pemerintah
RI. Mereka tidak malu hidup di atas kemewahan hak rakyat miskin, dan
meninggalkan limbah busuk sebagai imbalannya. Kecaman dari berbagai
pihak, termasuk LSM internasional, sedikit pun tidak digubris. Harta
memang dapat membuat orang menjadi buta dan tuli. (mt)
"Where is the wisdom we have lost in knowledge?
Where is the knowledge we have lost in information?"
--T.S. Elliot (1888-1965)
0 komentar:
Posting Komentar